Kamis, 22 September 2016

Elegi 21 September: Islam dan Perdamaian


Oleh: Aziz Darmanto
 

Sebulan lalu, dunia terguncang oleh derita seorang anak bernama Omran Daqneesh. Bocah lima tahun asal Aleppo Suriah yang tertimbun puing-puing bagunan sisa ledakan akibat keganasan ambisi manusia yang memborbardir kampung halamannya. Meski wajahnya penuh darah, ia bernasib lebih beruntung dibanding Aylan Kurdi, bocah menggemaskan yang tergeletak tak bernyawa di pesisir Pantai Turki. Kedua bocah ini mewakili bagaimana penderitaan bocah-bocah lainnya di Palestina, Suriah, dan negara-negara timur tengah lain yang kehilangan kebahagiaan karena tanah kelahirannya sedang dilanda krisis kemanusiaan. Sulit bagi mereka untuk bisa bermain dengan ceria layaknya anak normal pada umumnya. Setiap langkahnya penuh khawatir akan ledakan rudal yang seketika saja jatuh di hadapan mereka. Anehnya, apakah dunia paham penderitaan yang mereka rasakan saat ini?
21 September menjadi peringatan hari perdamaian Internasional. Hari yang disebut-sebut sebagai ajang untuk menggelorakan kata “damai” ke seluruh penjuru semesta ini. Pertama kali hari perdamaian Internasional diperingati tahun 1982, berarti sekitar 34 tahun peringatan itu sudah berlalu di setiap tahunnya. Entah 34 tahun penuh makna atau hanya menjadi seremonial belaka. Silakan tanyakan pada hati masing-masing.
Dunia belum damai. Kita bisa katakan itu sebagai fakta. Mengingat perang hingga hari ini masih terus terjadi. Rasa damai belum dapat dirasakan secara penuh oleh setiap manusia. Di Burma, timur tengah, India, kekerasan berlatar belakang agama masih terus terjadi. Diskriminasi mungkin sudah menjadi hal mengasyikkan bagi mereka yang punya kekuasaan. Terlalu angkuh padahal berasal dari mani yang menjijikkan dan berakhir menjadi sebuah bangkai. Ah, dunia ini sangat indah padahal, tapi mengapa manusia terus dan terus merusaknya? Sangat disayangkan mengingat manusia diciptakan dengan rasa kasih dan sayang untuk menghargai sesama makhluk ciptaan-Nya, namun ambisi menggelapkan itu semua.
Islam hadir bukan sebagai ancaman melainkan sebagai cahaya bagi alam semesta. Ajarannya mengandung kebenaran yang menyelamatkan manusia dari kehancuran. Islam menjadi penyelamat dengan usahanya yang menciptakan perdamaian sehingga setiap umat manusia dan seluruh makhluk Allah dapat hidup bersama dengan nyaman dan sejahtera. Persamaan derajat diantara manusia merupakan suatu hal yang ditekankan dalam Islam. Tidak ada perbedaan antara satu golongan dengan golongan lain, semua memiliki hak yang sama. Perbedaan yang ada bukanlah suatu ancaman bagi Islam, melainkan untuk dapat saling mengenal dan memahami persatuan. Allah berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptkan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS Al-Hujurat: 13). Kemudian Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan perbuatan kalian.” (HR. Muslim). Jadi yang membedakan derajat seorang manusia bukanlah harta, kekuasaan, atau suku, melainkan apa yang ada dihatinya, yakni ketakwaan. Dan yang paling bertakwa ialah yang paling mulia.
Aksi terorisme yang sering terjadi selalu dikaitkan dengan Islam. Lantas kemudian dunia mendakwa Islam sebagai agama permusuhan. Padahal rasanya terlalu naif apabila aksi-aksi terorisme itu dikaitkan dengan Islam. Karena pada dasarnya, yang Islam ajarkan hanyalah kasih sayang bukan kekerasan. Perlu diingat juga bahwa perdamaian adalah suatu anugerah yang harus dipertahankan oleh umat Islam. Sesuai sabda Rasulullah: “Sesungguhnya Allah menjadikan perdamaian sebagai tanda penghormatan bagi umat kami dan keamanan bagi ahli Dzimmah kami.” Selamat hari perdamaian Internasional, terbarkan cinta untuk sesama. Rayakan bersama dengan mulai memahami makna perdamaian dengan senantiasa mengelola hati dari ambisi.

Semarang, 21 September 2016

Rabu, 17 Agustus 2016

Indonesia 71 Tahun? Aku Merenung



Padamu negeri kami berjanji
Padamu negeri kami berbakti
Padamu negeri kami mengabdi
Bagimu negeri jiwa raga kami


            Padamu negeri. Jika mengingat lagu kita pasti ingat zaman-zaman ketika pelajaran seni musik waktu sekolah dulu atau ketika hari-hari besar nasional, lagu yang berkumandang dengan alunan khasnya yang merdu. Ngomong-ngomong hari besar, besok kita bakal nyambut 17-an lho atau kalau orang Jawa bilang pitulasan. Besok tepat 71 tahun Indonesia “merdeka” semenjak Dwitunggal pemimpin kita memproklamirkannya. Kadang gue agak terharu, bangga, termotivasi, bahkan mungkin sedih kalau dengar lagu Padamu Negeri, apalagi kalau tuh lagu dijadiin background music dari video-video yang menampilkan perjuangan rakyat Indonesia mempertahankan kemerdekannya. Hal memilukan yang ngebuat gue suka merenung di dinginnya malam, di bawah gemerlap bintang-bintang, di hangatnya pelukan rembulan, dan pada harapan yang masih digantung, jiaah pepaya kali digantung. Tapi rasa sedih yang sesungguhnya gue rasakan itu alasannya sih sederhana, gue sadar karena gue sampai saat ini belum bisa memberi yang terbaik untuk negeri gue tercinta. Indonesia. Juga kadang miris melihat  masih belum bersatunya bangsa kita. Maki sana sini, jotos atas bawah, sampai-sampai pembunuhan kayaknya satu-satunya cara buat nyelesaikan masalah. Melihat noda-noda yang terlihat jelas di mata kita setiap harinya yang ngebuat semakin hari bangsa ini semakin terpuruk, terus lu mau diam aja?
            Indonesia dibangun atas rasa cinta bersama, harapan bersama, dan cita-cita bersama, yaitu kemerdekaan. Merdeka yang bukan cuma slogan belaka, tapi memiliki makna kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, dan saling menebar kasih sayang (duh ngomong-ngomong kasih sayang jadi baper, hahaha, abaikan!) terhadap sesama manusia yang hidup di negeri dengan kekayaan budaya yang melimpah. Kemerdekaan yang harusnya dirasakan oleh semua orang dari si kere sampai konglomerat, si item atau putih, Jawa Batak Betawi Islam Kristen Tionghoa atau apalah latar belakang lu yang penting rasa kasih dan sayang dapat kita rasakan bersama. Tanpa ada diskriminasi, tanpa ada yang harus termarjinalkan.
            Bung, kalau lu marah lihat kondisi negeri yang makin kacau entah itu suasana politiknya, rasa keadilannya, fitnah sana fitnah sini, atau jomblo yang semakin mengingkat (lho apa hubungannya yak wkwk, buruan nikah makanya biar gak jomblo) ya apapun itu yang ngebuat lu miris, ayo sama-sama kita renungin. Mau memposisikan diri kita sebagai apa? Turut jadi provokator? Orang sok tahu? Pendingin suasana? Atau jadi pengganggu hubungan orang? (apa banget sih). Lu pikirin deh tuh. Jangan jadi orang yang gak pedulian. Segera tentukan peran apa aja yang menurut lu baik untuk bangsa ini. Dan yang pasti ngelakuinnya dengan tulus tanpa ada tekanan dan rasa pamrih. Berbuatlah.
      Gak perlu khawatir apa yang lu perbuat untuk negeri ini akan sia-sia. Semua gak ada yang sia-sia asal lu benar-benar ada tujuan positif dan terstruktur dalam melakukannya. Kalau ada orang yang berusaha memojokkan atas apa yang lu perjuangin untuk kebaikan bangsa lu, jangan pernah sekali-kali lu dendam. Apalagi sampe bunuh-bunuhan. Ini bukan FTV broo. This is the real life! Intinya, “Dalam ajaran keyakinan gue, semua orang akan mati tapi amalan akan hidup selamanya.” Beramallah untuk negeri, jangan sampai nyawa lu gak berarti, waktu lu terbuang percuma. Buatlah kata “merdeka” menjadi kata yang tertanam dengan sejuta maknanya untuk kemajuan Indonesia. Negeri ini membutuhkanmu, sahabat. Jika engkau masih diam, "Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?" (QS Ar-Rahman).

Semarang, 16 Agustus 2016
           

Ego

Tatapan adalah anugerah untuk mampu memahami keindahan. Memandang berbagai warna-warni kehidupan yang mengisi hari dalam setiap kedipan. A...