Bukan hal yang biasa,
apabila aku duduk di taman melihat anak-anak berlarian ke sana ke sini dengan suasana yang penuh keriangan. Itu biasa. Namun, kebetulan aku duduk di samping beberapa kuntum
bunga dengan spesies yang beragam. Berjejer indah penuh warna menghiasi taman.
Sama halnya dengan anak-anak yang berlarian riang, kuntum-kuntum bunga tersebut
tidak membuatku heran. Itu biasa di taman. Hanya ada satu yang membuatku heran,
bertanya-tanya mengapa engkau ada di taman, oh seekor kumbang kecil.
Mungkin banyak dari
kita berpikir, kumbang ada di taman itu wajar. Memang benar adanya. Aku tidak
mempermasalahkan kumbangnya, akan tetapi tingkah si kumbang yang membuatku
merasa ganjil. Melangkah dengan kaki kecilnya seekor diri. Di saat
serangga-serangga kecil yang lain terbang berdua dengan kekasihnya, si kumbang
tidak berpasangan dengan kekasihnya. Aku pikir, itu sangat aneh. Mengapa aneh?
Ada yang bilang, kesendirian itu suatu keanehan di dunia yang sudah sedemikian
terbuka dan mengasyikkan seperti saat ini.
Sendiri. Satu kata yang
sangat menusuk hati. Berdiam diri tanpa ada yang menghampiri. Ingin berkelana,
namun siapa yang ingin menemani. Di saat yang lain bergandeng tangan, apalah
daya kesendirian hanya mampu berteman sepi. Menyeringai dalam iri.
Eh, tapi mungkin
kumbang itu menyendiri karena ia punya prinsip. Prinsip kalau sendiri adalah
anugerah Illahi. Mungkin, mereka yang berdua, sejatinya banyak yang kehilangan
jati diri, bahkan terbebani. Tak punya prinsip, hanya sekadar meluapkan birahi.
Bisa jadi.
Si kumbang berprinsip,
kesendirian membuat ia bisa bebas terbang kemanapun ia ingin. Menikmati ciptaan
Sang Maha Pencipta. Bercengkerama dengan alam, merasakan cinta sutuhnya. Tanpa ada
yang mengusik. Tanpa kebahagiaan yang pada akhirnya menyakitkan. Juga tanpa
kepalsuan yang menggoreskan luka. Karena si kumbang tahu kesendiriannya
hanyalah bersifat sementara. Si kumbang tahu, Tuhan menciptakan dua makhluk
dalam satu hati dan tidak akan tertukar. Keduanya akan bersatu di waktu yang
tepat, yakni waktu di mana keduanya telah lulus dari ujian kesabaran. Ia
berpikir, kalau ia belum layak untuk lulus dari ujian kesabaran sehingga ia
enggan untuk menjalani hidup berdua. Ibarat sekolah, seseorang tidak
diperkenankan keluar dan melepaskan status “siswa” sampai ia benar-benar lulus
dalam ujian. Sama halnya dengan si kumbang. Jika ingin lulus dari ujian
kesabaran dan melepas status “sendiri”, ia harus pandai memaknai kesendirian
– menjadi dewasa; percaya bahwa sepasang hati tidak akan tertukar; sabar dalam
ketaatan; mandiri; cerdas; tangguh; lihai mengelola nafsu; sampai ketika semua
itu dapat dihadapinya dengan baik dan gagah berani, akan tiba waktunya ia lulus
dari ujian kesendirian dan pada akhirnya Tuhan memberi hadiah terbaiknya berupa
kekasih terbaik untuk si kumbang. Kesendirian hanya tinggal cerita belaka, dan
sisa hidup ke depannya akan dijalani berdua.
Ah, sial. Di dunia ini
banyak yang curang. Belum lulus ujian kesabaran tapi sudah berani berdua,
mengambil kekasih yang belum tentu kekasihnya. Bagaimana jika ternyata yang
diambil si curang adalah kekasihku? Aku sih gak perlu khawatir. Sekali
lagi, securang apapun manusia masih ada Tuhan yang menjadi sebaik-baiknya
pengawas ujian. Tuhan senantiasa mengawasi supaya sepasang hati ciptaan-Nya
tidak tertukar. Intinya, fokus pada ujian, setidaknya hal itu tidak akan
membuat kekasihmu menyesal berada di sampingmu kelak, sebab, kamu telah lulus
dari ujian kesendirian dan layak untuk berdua dengannya. Selamanya.
Jakarta, 06
Februari 2017