Rabu, 08 Februari 2017

Kumbang di Taman


Bukan hal yang biasa, apabila aku duduk di taman melihat anak-anak berlarian ke sana ke sini dengan suasana yang penuh keriangan. Itu biasa. Namun, kebetulan aku duduk di samping beberapa kuntum bunga dengan spesies yang beragam. Berjejer indah penuh warna menghiasi taman. Sama halnya dengan anak-anak yang berlarian riang, kuntum-kuntum bunga tersebut tidak membuatku heran. Itu biasa di taman. Hanya ada satu yang membuatku heran, bertanya-tanya mengapa engkau ada di taman, oh seekor kumbang kecil.
Mungkin banyak dari kita berpikir, kumbang ada di taman itu wajar. Memang benar adanya. Aku tidak mempermasalahkan kumbangnya, akan tetapi tingkah si kumbang yang membuatku merasa ganjil. Melangkah dengan kaki kecilnya seekor diri. Di saat serangga-serangga kecil yang lain terbang berdua dengan kekasihnya, si kumbang tidak berpasangan dengan kekasihnya. Aku pikir, itu sangat aneh. Mengapa aneh? Ada yang bilang, kesendirian itu suatu keanehan di dunia yang sudah sedemikian terbuka dan mengasyikkan seperti saat ini.
Sendiri. Satu kata yang sangat menusuk hati. Berdiam diri tanpa ada yang menghampiri. Ingin berkelana, namun siapa yang ingin menemani. Di saat yang lain bergandeng tangan, apalah daya kesendirian hanya mampu berteman sepi. Menyeringai dalam iri.
Eh, tapi mungkin kumbang itu menyendiri karena ia punya prinsip. Prinsip kalau sendiri adalah anugerah Illahi. Mungkin, mereka yang berdua, sejatinya banyak yang kehilangan jati diri, bahkan terbebani. Tak punya prinsip, hanya sekadar meluapkan birahi. Bisa jadi.
Si kumbang berprinsip, kesendirian membuat ia bisa bebas terbang kemanapun ia ingin. Menikmati ciptaan Sang Maha Pencipta. Bercengkerama dengan alam, merasakan cinta sutuhnya. Tanpa ada yang mengusik. Tanpa kebahagiaan yang pada akhirnya menyakitkan. Juga tanpa kepalsuan yang menggoreskan luka. Karena si kumbang tahu kesendiriannya hanyalah bersifat sementara. Si kumbang tahu, Tuhan menciptakan dua makhluk dalam satu hati dan tidak akan tertukar. Keduanya akan bersatu di waktu yang tepat, yakni waktu di mana keduanya telah lulus dari ujian kesabaran. Ia berpikir, kalau ia belum layak untuk lulus dari ujian kesabaran sehingga ia enggan untuk menjalani hidup berdua. Ibarat sekolah, seseorang tidak diperkenankan keluar dan melepaskan status “siswa” sampai ia benar-benar lulus dalam ujian. Sama halnya dengan si kumbang. Jika ingin lulus dari ujian kesabaran dan melepas status “sendiri”, ia harus pandai memaknai kesendirian – menjadi dewasa; percaya bahwa sepasang hati tidak akan tertukar; sabar dalam ketaatan; mandiri; cerdas; tangguh; lihai mengelola nafsu; sampai ketika semua itu dapat dihadapinya dengan baik dan gagah berani, akan tiba waktunya ia lulus dari ujian kesendirian dan pada akhirnya Tuhan memberi hadiah terbaiknya berupa kekasih terbaik untuk si kumbang. Kesendirian hanya tinggal cerita belaka, dan sisa hidup ke depannya akan dijalani berdua.
Ah, sial. Di dunia ini banyak yang curang. Belum lulus ujian kesabaran tapi sudah berani berdua, mengambil kekasih yang belum tentu kekasihnya. Bagaimana jika ternyata yang diambil si curang adalah kekasihku? Aku sih gak perlu khawatir. Sekali lagi, securang apapun manusia masih ada Tuhan yang menjadi sebaik-baiknya pengawas ujian. Tuhan senantiasa mengawasi supaya sepasang hati ciptaan-Nya tidak tertukar. Intinya, fokus pada ujian, setidaknya hal itu tidak akan membuat kekasihmu menyesal berada di sampingmu kelak, sebab, kamu telah lulus dari ujian kesendirian dan layak untuk berdua dengannya. Selamanya.

Jakarta, 06 Februari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ego

Tatapan adalah anugerah untuk mampu memahami keindahan. Memandang berbagai warna-warni kehidupan yang mengisi hari dalam setiap kedipan. A...